"". Putera Nusantara : “Mengapa Belanda mempraktikan devide et impera?”


. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, ,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, , TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG, < TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANGTETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG,,TETAP SEMANGAT,TETAP BERJUANG

Senin, 04 Maret 2013

“Mengapa Belanda mempraktikan devide et impera?”



Apakah ini sebuah nasib atau kebodohan bangsa ini, bangsa Indonesia…? Bangsa yang disebut-sebut sebagai salah satu bangsa besar di dunia. Begitu mudahnya bangsa besar ini dipecah belah atau diadu domba. Apakah kita tidak pernah mengambil pelajaran dari sejarah, bahwa selama 350 tahun bangsa kita dijajah Belanda karena hal ini? Kita terpecah belah dan di pecah belah dengan politik yang bangsa Belanda menyebutnya devide et impera. 

Devide et impera merupakan politik pecah belah atau disebut juga dengan adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. 

Di layar kaca televisi maupun media cetak, hampir setiap hari kita disuguhi berita-berita tentang perseteruan antar kelompok untuk memperebutkan kekuasaan, saling menuding, bahkan saling sikut dengan intrik-intrik politik yang mendekati kata “kejam”. Dan mirisnya, hal itu dilakukan oleh sesama anak bangsa, bangsa Indonesia. Inilah yang menjadi kelemahan kita sebagai bangsa yang mengaku berpendidikan tapi mampu diceraiberaikan keadaan. Bangsa yang mengaku berkembang dengan jumlah penduduk yang mayoritas miskin, dan tanpa jaminan kesehatan. 

Sejarah mencatat, kedatangan armada Belanda kali pertama mendarat di Nusantara, tahun 1596, tepatnya di Pelabuhan Banten, dengan tujuan berdagang yang dipimpin Cornelis de Hautman. Namun pada saat itu Belanda gagal mendapatkan izin dagang. Belanda baru resmi mulai berdagang di Batavia tahun 1602, ditandai dengan berdirinya kantor pusat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Perusahaan Hindia Timur Belanda di Batavia. 

Cerita VOC kemudian berkembang menjadi upaya penjajahan terhadap bangsa Indonesia. Caranya, meneer-meneer Belanda menggandeng beberapa pribumi untuk menjadi karyawan mereka dan mengkhianati bangsanya sendiri. Raja di satu kerajaan diadu domba dengan raja lain yang pada akhirnya menimbulkan peperangan dan perpecahan bangsa ini. 

Terdapat satu komunitas yang terus menerus berjuang untuk mempertahankan kedaulatannya, sementara di sisi lain berbaris komunitas yang sedang asyik menikmati rejeki hasil pengkhianatan. Lucunya, dengan enteng kita mengatakan semuanya akibat politik devide et impera. Selalu orang lain yang disalahkan dan bukan mengapa kita bisa diadu domba? Kata persatuan yang tergantung manis di kaki burung garuda yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika seakan terlupakan.



Pengertian secara definitif Divide et impera atau Politik pecah belah adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat. 

Apabila kita membaca sejarah bangsa ini maka kita akan tahu mengapa hal ini terjadi. Terdapat satu komunitas yang terus menerus berjuang sementara di sisi yang lain berbaris komunitas-komunitas yang sedang asyik menikmati rejeki hasil pengkhianatan. Lucunya, dengan enteng kita mengatakan semuanya akibat politik divide et impera. Selalu orang lain yang disalahkan dan bukan mengapa kita bisa diadu domba. 

Perlawanan di berbagai daerah itu antara lain Perang Saparua, Maluku (1817) di bawah pimpinan Pattimura. Perang Padri (1821 – 1837) di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Di Jawa muncul Perang Diponegoro (1825—1830) yang dipimpin Pangeran Diponegoro, didukung oleh Kyai Maja, Sentot Ali Basyah Prawirodirjo, dan Pangeran Mangkubumi. Perang Aceh (1873 – 1904) yang melahirkan tokoh-tokoh terkenal seperti Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Teuku Ibrahim, dan Teuku Umar. Tokoh perlawanan dalam Perang Banjar, Kalimantan (1858 – 1866) adalah Pangeran Prabu Anom, Pangeran Hidayat, dan Pangeran Antasari. Tokoh Perlawanan di dalam Perang Jagaraga, Bali (1849 – 1906) adalah Raja Buleleng, Gusti Gde Jelantik, dan Raja Karangasem, dan sebagainya. Ini adalah bukti dari satu komunitas yang yang terus menerus berjuang mempertahankan eksistensi idiologi dan politik yang tak sudi di rebut oleh tangan penjajah. 

Ketika belajar sejarah, kita tidak pernah diberi kesempatan untuk bertanya dan dicerahkan pemikiran kita untuk bertanya, “Mengapa Belanda mempraktikan devide et impera?” Belanda tentu tidak bodoh, antropolog, sejarawan dan ilmuwan humaniora terbaik yang ada di seluruh Negeri Belanda tentunya telah dipekerjakan untuk meneliti watak khas orang Indonesia sebelum Pemerintah Belanda mengimplementasikan sebuah kebijakan. 

“Batu turun keusik naek”
Tidak akan suatu kebijakan politik yang berhasil tanpa ada unsur pendukungnya, bagaimana pun baiknya suatu kebijakan politik kalau tanpa partisipasi politik maka akan gagal total dan sebaliknya sejelek-jeleknya kebijakan politik tetapi kalau ada unsur pendukung yang mengsukseskannya tentunya kebijakan tersebut akan berjalan dengan sendirinya. Politik devide et impera adalah produk penjajah yang tak kan sukses kalo tidak ada pihak yang bodoh dan haus kekuasaan sehingga mereka lebih suka bekerja sama dengan Belanda selama mereka (bersama Belanda) dapat menjajah rakyat di Nusantara ini. 

jadi…“Mengapa Belanda mempraktikan devide et impera?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar